Film Animasi di Indonesia: Berkembang atau ironis?

Film Animasi di Indonesia: Berkembang atau ironis?
Oleh : Julian Suhamto/Sastra Prancis/06/198316/SA/13849

Diunggah ke blog, sebagai referensi untuk semua.
Materi ini digunakan untuk ujian akhir mata kuliah Pengantar Pengkajian Sinema-Sastra Indonesia.




1. Pendahuluan

Animasi, atau lebih akrab disebut dengan film animasi, adalah film yang merupakan hasil dari pengolahan gambar tangan sehingga menjadi gambar yang bergerak. Menurut KBBI 2008 : ani•ma•si n acara televisi yang berbentuk rangkaian lukisan atau gambar yg digerakkan secara mekanik elektronis sehingga tampak di layar menjadi bergerak.
Pada awal penemuannya, film animasi dibuat dari berlembar-lembar kertas gambar yang kemudian di-"putar" sehingga muncul efek gambar bergerak. Dengan bantuan komputer dan grafik komputer, pembuatan film animasi menjadi sangat mudah dan cepat. Bahkan akhir-akhir ini lebih banyak bermunculan film animasi 3 dimensi daripada film animasi 2 dimensi.
Wayang kulit merupakan salah satu bentuk animasi tertua di dunia. Bahkan ketika teknologi elektronik dan komputer belum diketemukan, pertunjukan wayang kulit telah memenuhi semua elemen animasi seperti layar, gambar bergerak, dialog dan ilustrasi musik.

2. Perkembangan Film Animasi di Indonesia

Seperti yang telah kita ketahui, film Indonesia banyak yang berciri genre horror, drama, berbau seks, dan komedi. Dari sekian banyak film yang beredar, sadar atau tidak, kita sangat kekurangan genre animasi yang notabene juga berkembang, namun tidak pernah meraih jumlah penonton yang seheboh film lain, sebagai contoh: Ketika Cinta Bertasbih atau Ada Apa Dengan Cinta. Hal ini pula yang menyebabkan referensi tentang film animasi di indonesia sangat minim. Mungkin banyak pula dari sekian penonton film Indonesia tidak menyadari bahwa Indonesia sebenarnya sanggup membuat film animasi berkualitas. Sebagai contoh, Janus pahlawan terakhir dan film animasi Homeland.

Sebenarnya banyak produser untuk film kartun di Indonesia yang mendedikasikan untuk di tayangkan di televisi saja. Hal ini cukup beralasan karena seperti yang kita ketahui, film yang ditayangkan di Bioskop tidak mencapai hasil yang memuaskan, berkaitan dengan perputaran revenue (pendapatan) yang tidak begitu bisa diharapkan dari bioskop. Hal ini mengingatkan protes yang dilancarkan para pengusaha bioskop di Inggris tentang film animasi Alice in Wonderland (2010) yang dibuat DVD nya hanya dalam waktu 10 minggu setelah tayang perdana. Esensi yang bisa ditangkap dari kejadian diatas mungkin bisa dikaitkan dengan perkembangan film animasi di Indonesia yang sangat minim sekali, masalah pendanaan dan profit.

Tidak cukup untuk membahas kenapa film animasi Indonesia sangat minim untuk dasar di atas hal ini juga berkaitan dengan gaya film animasi di Indonesia yang tidak mencirikan Indonesia seutuhnya. Kita bisa berkaca pada film buatan Pixar Studios yang mencirikan Deformatif, atau film animasi yang non-realistis. Hal ini dicirikan dengan kepala besar, tangan pendek dan juga mengandalkan gerak-gerak halus yang tidak bisa dilakukan manusia. Hal ini bisa ditangkap dari film animasi Meraih Mimpi (2009). Film yang sanggup menembus pangsa internasional ini di susun oleh Nia Dinata dengan menggandeng artis Indonesia sebagai Dubber seperti Gita Gutawa, Patton, Surya Saputra dan sederet artis lainnya. Sayangnya produser film ini berasal dari Singapura yang artinya belum ada produser Indonesia yang mau membuat film bertaraf internasional seperti ini. Pengerjaan film animasi ini memakan biaya USD 5 Juta dan dikerjakan 150 animator dalam dan luar negeri. Film ini didistribusikan ke Korea, Jepang dan Rusia.

Sebenarnya film Indonesia cukup fantastis dalam perkembangannya. Sebuah film yang jarang didengar sebelumnya namun sampai diputar ulang di luar negeri bahkan sampai menembus Eropa dan Hongkong buatan WISSTAJakarta berjudul Dewi Mayangsari, pernah masuk ke IMDB.org – situs penilaian film - walau hanya bernilai 2.1 saja dari 5. Anehnya, film ini tidak pernah ditayangkan di Indonesia sama sekali. Jika ditilik kembali, Peran pemerintah dalam memajukan film animasi Indonesia tidak maksimal berdasarkan fakta-fakta yang ada. Menurut Dwi Kundoro (Pengarang Komik Panji Koming), pemerintah berkutat pada kebijakan dan birokrasi. Menurutnya pula, sebenarnya minat untuk pembuatan film animasi di Indonesia sebenarnya bagus dan sudah meningkat, namun masyarakat Indonesia yang heterogen menjadi hambatan untuk membuat animasi yang Indonesia. Dia mengatakan bahwa filmnya sangat jawa sekali, sehingga banyak menuai kritikan.

Konsep mengindonesiakan film animasi, sepertinya sulit, sehingga para produser dan animator kebingungan untuk membuat ciri tersendiri, sehingga mulailah untuk berkiblat pada animasi milik Amerika, khususnya film-film buatan Pixar-Disney Studios. Sebagai contoh, Janus Pahlawan Terakhir banyak dipuji dengan penggabungan CGI (Computer Graphic Interface) dan manusia, juga dengan plot yang tak mudah ditebak. Sayang sekali film ini hanya bertahan rata-rata 3 minggu di bioskop Indonesia.

Animasi yang tayang di televisi semacam Kabayan Liplap (TPI) merupakan salah satu film animasi yang sebenarnya layak diacungi jempol dari segi kualitas. Film yang ditujukan untuk anak-anak ini menggunakan rendering yang baik, walau masih kalah bagus dengan film Upin-Ipin milik negara tetangga, Malaysia. Sebagai film edukatif, Kabayan Liplap cukup menarik dan dapat dicerna jalan ceritanya. Film yang merupakan serial ini dibuat sampai 52 episode dan diproduseri oleh Castle Production. Ini adalah salah satu film animasi yang dibuat seluruhnya oleh orang Indonesia.

Film lain yang dibuat seluruhnya oleh pihak Indonesia adalah Homeland(2004) yang merupakan film animasi dan juga film 3D layar lebar pertama. Film yang dibuat oleh Studio Kasatmata (Jogja) dengan produser Visi Anak bangsa ini ditayangkan di 13 kota di seluruh Indonesia. Homeland sempat meraih penghargaan sebagai film animasi panjang pertama produksi Indonesia, yaitu di Pusan Film Festival (Korea Selatan) dan Sarasvati Award 2004. Sarasvati Award adalah penghargaan yang diberikan di acara tahunan Bali International Film Festival (Biffest). Lantas pada Festival Film Animasi 2005, Homeland terpilih sebagai film terbaik kategori feature. Anehnya, Studio Kasatmata saat ini bisa dikatakan mati suri untuk melanjutkan kisah kesuksesannya tersebut.

Pernah pula serial kartun 2Dimensi ditayangkan dalam 15 episode saja yaitu film serial Folklore Indonesia (2002) yang dibuat oleh Studio RedRocket Bandung. Film yang disponsori oleh produser susu, Dancow ini menjadi salah satu perkembangan yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan film animasi Indonesia. Lagi-lagi, film ini terhenti setelah kontrak dari sponsor habis.

Kemanakah sebenarnya para produser lari? Ke genre Horror yang semakin menjamur dan tak terkontrol? Atau lebih suka membuat sinetron yang bisa dikatakan merusak kualitas pertelevisian Indonesia? Jika semua ini akan berlanjut, maka hal yang terjadi adalah perkembangan yang semu di Perfilman Indonesia. Hal ini mengingatkan kita pada produser musik yang sekarang hanya peduli pada genre musik melayu saja untuk menyelamatkan perusahaan masing-masing. Sebagai hasilnya, kita dijejali oleh puluhan band baru (yang mayoritas ber-genre melayu) setiap bulannya. Hal ini tentu sangat tidak kita inginkan dalam perkembangan film animasi di Indonesia, mengingat masyarakat butuh sebuah penyegaran dalam dunia film yang semakin menurun dalam kualitasnya. Dibalik serbuan film Hollywood, kita masih bisa bangkit dalam film animasi.

Dari fakta yang ada, yang paling menyedihkan adalah kurangnya penghargaan terhadap hasil karya bangsa sendiri. Seperti Castle Production, perusahaan Film Animasi ini justru menjual filmnya ke luar negeri, seperti Eropa dan Amerika Serikat karena minimnya tanggapan dari dalam negeri. Film-film seperti "The Adventure of Carlos Caterpillar" yang bercerita mengenai petualangan seekor ulat untuk televisi Spanyol, "The Story of Jim Elliot" tentang misionaris di Ekuador untuk televisi Inggris, dan cerita anak-anak "Cherub Wings" untuk televisi AS. Castle mengerjakan seluruh proses animasi, sedangkan cerita dan karakter sesuai pesanan. Beberapa pengamat mengatakan, film animasi Indonesia sudah setara dengan film animasi Jepang dalam pengerjaan dan detilnya. Sekali lagi, dalam bidang ini, butuh perhatian lebih dari seluruh bangsa Indonesia. Untuk produksi dari Castle Production sendiri masih diakui sebagai kualitas B atau kurang dari 25 frame per detik. Namun film tersebut masih jauh lebih bagus ketimbang Doraemon yang menggunakan 12 frame per detik.

Pada akhirnya, semua kembali ke pertanyaan awal, film animasi Indonesia berkembang atau ironis, jawaban ini masih ditunggu hingga kini. Selagi kita menanti jawabannya, sambil menikmati kualitas film bergenre yang sama dari tahun ke tahun belakangan ini, bolehlah kita mengambil pena dan mencoret pertanyaan pertama.









Daftar Pustaka
Solomon, Charles (1989). Enchanted Drawings: The History of Animation. New York.: Random House, Inc (streaming melalui GoogleBooks)
Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 offline (.pdf)

Referensi Website:
http://aergot.wordpress.com/2008/02/21/separuh-nafas-industri-animasi-lokal/
http://www.chip.co.id/special-reports/castle-ekspor-ratusan-film-animasi-ke-eropa-dan-as.html
http://www.teknopreneur.com/content/animasi-lokal-indonesia-%E2%80%98terganjal%E2%80%99-mahalnya-hak-siar
http://www.astaga.com/content/meraih-mimpi-animasi-musikal-pertama-indonesia
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/01/16/Hiburan/hib01.htm
http://studiokasatmata.multiply.com/journal

Referensi Film
VCD Original Homeland (2004) / Studio Kasatmata – Visi Anak Bangsa. Durasi: 90 menit.
Dubber : Cha Sastrowilogo (Bumi), Puguh indarso (Nino), Teddy Sutadhy (Sal), Giras Basuwondo, Trio tikus (tika-udjo-yossie) Project Pop, Enno Lerian, Edwin Moron.
Sutradara: Garin Nugroho. Skenario : Jujur Prananto, Bre Redana. Animator: Tim Studio Kasat Mata.

Komentar

Postingan Populer